Cerpen ala Santri ~Kesalahan Terbaik~


Kesalahan Terbaik
Oleh : Ella Elistiani

Selalu terlintas di fikiranku, mengapa aku berada disini? Mengapa aku bisa bertahan ditempat ini? Mengapa teman-temanku seperti ini? Bingung? Aneh? Nggak nyangka? Hmmm...
***
Namaku Sella Marisa, umurku 15 tahun, aku adalah bocah lulusan Sekolah Menengah Pertama di suatu desa yang sudah agak maju, bisa dibilang aku adalah anak yang manja karena uang masih minta sama orangtua dan sangat ketergantungan pada ponsel android, aku juga suka main motor, setiap sepulang sekolah pasti aku tidak langsung pulang, tetapi aku nongkong dulu di warung mbah bro bersama kawan-kawanku.
Melihat keadaanku yang sangat buruk, mamaku pernah berkata pada papaku (pecakapan pelan ini aku dengar ketika kami sedang makan malam didepan Tv).
Mama  : “Pak, apa sebaiknya anak kita dipondokkan saja ya pa,  soalnya aku takut apabila ia bertumbuh besar dilingkungan seperti ini terus, akan berdampak buruk bagi masa depannya”.
Papa    :“itu ide yang bagus ma, ya sebaiknya Sella kita pondokkan saja”.
Mendengar perkataan papa dan mama aku sempat berfikir, “haa? Mondok.. mesti kalau mondok nggak bisa maen, nggak bisa nongkrong,  makannya nggak enak, banyak aturan. Trus bagaimana dengan teman-temanku yang disini?” Aku cemas dengan hal ini.
Lalu di hari saat aku akan mencari sekolah lanjutan, mama memanggilku.
Mama : “Sell! Mau kemana kamu, tumben pagi-pagi udah rapi pakai seragam lagi.”
Aku     : “Mau cari temen baru buk! Ya mau daftar sekolah lah.”
Mama  : “Kamu itu mau sekolah dimana? Pergaulanmu aja semakin lama makin nggak jelas, mama sama papa udah cariin tempat yang terbaik buat masa depanmu.”
Aku     : “Emang mama mau sekolahin aku dimana.”
Mama  : “Kamu akan mama pondokkan di Jogja”
Aku     : “Ya nggak bisa gitu dong ma, mama nggak bilang dulu ke aku sebelumnya”
Mama  : “Ya ini mama udah bilang to, papa juga setuju kok”
Aku     : “Nggak mau, dipondok  tu nggak enak, nggak bisa kemana-mana, banyak aturan, makanannya juga nggak enak.”
Mama  : “Kata siapa dipondok kayak gitu, nanti kalau kamu dipondok, hidupmu akan lebih tertata dan masa depanmu juga terjamin bagus nak.”
Aku     : “Trus temen-temenku yang disini bagaimana? Aku nggak bisa jauh dengan mereka begitu juga dengan mama dan papa.”
Mama  : “Mama yakin nak, kamu pasti bisa. Orang belum bisa kalau belum mencoba.”
Aku terus berusaha mencari alasan agar mamaku tidak memasukkanku ke pondok, tapi sekuat apapun alasanku tidak menggoyahkan keputusan mama untuk tetap memasukkanku ke pondok pesanten. Aku terus menangis disepanjang malam meratapi keputusan mamaku. Aku membayangkan betapa kesepiannya aku nanti di sana yang jauh dengan orangtua dan teman-temanku..
***
Hari itu tanggal 10 Juli 2017. Aku bersama keluarga berangkat menuju ke kota pelajar untuk mendaftar di Pondok Pesantren Darul Mushlihin. Hatiku serba susah, tak terhenti isap tangis dan sedih yang kurasakan ketika meninggalkan kampung halaman dan teman-teman yang aku sayang. Dalam  perjalanpun aku belum berhenti menangis, rasanya seperti aku melakukan kesalahan yang sangat besar. Aku belum ikhlas...
Mobilpun menghentikan lajunya dengan rem yang sampai membangunkan tidurku, Ternyata pagar besar bertuliskan Ahlan Wa Sahlan Fiil Ma’had Darul Mushlihin Yogyakarta berdiri gagah di depan mata, kini aku sudah sampai di tempat yang akan menjadi penjara bagiku. Hatiku tak karuan rasanya.
Di tempat ini aku dan orangtuaku disambut dengan baik oleh para pengurus serta pimpinan pondok pesantren ini. Oleh santri-santri pimpinan di panggil Pak Nyai dan Bu Nyai. Aku langsung dikenalkan dengan mereka, tetapi aku tidak bahagia, raut mukaku kaku, mataku membengkak, wajahku berminyak seperti tidak memiliki harapan lagi, perasaanku sedih dan kesal, pikiranku masih terbayang kampung halaman dan teman-teman dirumah. Aku terdiam.
Bu Nyai           : “Sugeng rawuh teng ponpes kami bapak, ibu, kalih genduk ayu.”
Mama              : “Terimakasih atas sambutan baiknya bu nyai.”
Bu Nyai           : “Monggo mlebet teng ndalem nggeh.”
Papa                : “Nggeh bu nyai, matursuwun.”
( Kami dipersilahkan masuk kedalam ndalem Kyai, tetapi mukaku tak terkondisikan )
Sambil merangkul pundakku mama berkata, “Sudahlah nak, ini juga demi masa depanmu, mama yakin kamu pasti bisa melewatinya, tersenyumlah.” ( aku masih membisu ).
Kami duduk diruang tamu ndalem, membicarakan tentang pendaftaran dan tentang diriku kedepannya nanti. Aku mencoba untuk menerima ini semua walaupun ini berat dan  sulit, tetapi mau bagaimana lagi, kalau tidak nurut sama ortu, aku nggak akan bisa hidup.
Mama              : “Begini pak nyai, bu nyai, kami menempatkan anak kami disini agar bisa menjadi anak yang solehah, yang bisa menata hidupnya lebih baik, menjadi orang yang berguna bagi orang lain, bagi nusa dan bagi bangsa. Mohon kepada bapak dan bu nyai untuk menerima anak saya dan mendidiknya dengan baik.
Pak Nyai         : “Nggeh bu, kami disini berusaha untuk mendidik santri-santri kami dengan baik supaya mereka menjadi lulusan yang berjiwa qur’ani dan berakhlakul karimah.”
Papa                : “Ya, intinya kami minta tolong dengan ilmunya pak nyai untuk mengajari anak kami mengaji dan berbenah diri, karena kondisi kami yang setiap hari bekerja di kantor, mungkin anak kami kurang didikan lebih dari kami karena kesibukan kami dan waktu yang kurang, maka dari itu kami titip anak kami disini. Mohon dijaga dengan baik nggeh bu nyai, kalau misal nakal dihukum nggak papa bu, semoga anak kami menjadi orang yang sukses dan berakhlakul karimah.amin.
Setelah cukup lama kami mengurus administrasi dan pendaftaran, mama dan papa langsung pamit pada Pak nyai dan bu nyai, dan meninggalkanku ditempat ini, mereka berpesan kepadaku, “jaga diri baik-baik ya nak, semoga kamu menjadi orang yang sukses, Amin.
Setelah berpesan, mama dan papa langsung pulang. Aku merasa sendiri disini, tidak ada yang ku kenal, tidak ada keluarga, terasa hampa hidup ini.
Kemudian bersama bu nyai aku diantar ke asrama putri dan ditunjukan kamarku, sambil ribet membawa barang-barangku yang banyak. Aku meletakkannya dikamar yang telah ditunjuk bu nyai tadi. Di kamar, aku disambut dengan senyum lebar santri-santri yang ada disitu. Mereka mengajakku berkenalan dan bertanya-tanya.
Bu nyai meninggalkanku, sekarang aku bersama santri baru yang telah dulu datang, mereka bercerita banyak dan katanya merekapun dari luar jogja. Tetapi aku tidak tertarik dengan cerita mereka, aku masih terdiam dan males untuk berbicara karena saat itu perasaanku masih campur aduk. Kemudian aku disuruh untuk beristirahat terlebih dahulu. Aku merenung dikamar.
Tenyata pekataanku dulu adalah doa yang terkabul dihari ini, dulu sempat aku berkata ketika aku sedang bertengkar dengan mamaku,”Andai aku bisa keluar dari rumah, aku akan bebas kemana saja tanpa omelan dari mama.” Kataku kasar. Mungkin ini yang menyebabkanku sampai di penjara suci ini.
***
Pada malam hari setelah mengaji, seluruh santri seasrama berkumpul, katanya ini adalah rutinitas sebelum tidur yang dinamakan muhasabah. Ternyata pengurus mengumpulkan santri untuk mengenalkanku. Ketika namaku dipanggil, akupun tertunduk malu dan agak canggung karena tidak ada yang aku kenal sama sekali. Saat itu pula pengurus menyampaikan tatatertib diponpes tersebut. Ada satu aturan yang menurutku mengganjal, yaitu larangan santri untuk tidak membawa ponsel. Hal ini yang membuatku tidak suka berada dipondok karena sebenarnya aku tidak bisa lepas dari handphone android ku. Oke motor yang dirumah sudah aku ikhlaskan tapi untuk Hp, tidak bisa! Bagaimana aku akan berhubungan dengan teman-temanku dirumah, bagaimana aku menghubungi pacarku kalau nggak ada Hp. Nggak enak banget disini.
Pengurus         : “Kamu sudah faham dengan segala aturan yang ada disini?”
Aku                 :  “Faham mbak.”
Pengurus         : “Apakah kamu membawa ponsel?, barangkali kamu belum mengerti aturan ini.”
Aku                 : ( sedikit gemetar ) “tidak mbak.”
Pengurus         : “Bagus, semoga kamu betah disini ya dek, dan semoga ilmu yang akan kamu dapatkan bermanfaat, amin.
Aku menunduk dan sedikit gemetar karena aku telah berbohong pada pengurus. Muhasabahpun selesai, para santri dipersilahkan untuk meninggalkan tempat dan bersiap untuk tidur.
***
Berhari-hari aku mencoba untuk hidup dipondok ini, susah senang aku rasakan disini, ternyata nggak semua yang ku fikir buruk dipondok itu ada, ada hal-hal yang menyenangkan juga seperti dapat banyak perhatian dan kasih sayang dari bu nyai dan juga teman-teman satu kamar,mereka adalah pendengar sekaligus penasihat yang baik. Tetapi bayangan ku tentang teman-teman di kampung tak usainya hilang, dimalam hari ketika semua sudah terlelap, secara diam-diam aku mengeluarkan Hp ku dilubang tas paling dalam. Aku menggunakanya untuk sekedar nge-chat teman-teman dan pacar, sekedar mengatakan rindu berat kepada mereka. Disini aku merasa susahkarena hubunganku dengan mereka sangat terbatas sekali.
Selama ini aku merasa aman-aman saja membawa Hp yang selalu ku buka disetiap malam. Saat itu aku tidak memikirkan aturan atau pelanggaran apapun apabila aku ketahuan membawanya, yang penting bagiku adalah hubunganku dengan pacar dan teman-teman disana baik-baik saja.
Suatu hari ada OSDAM keamanan yang jaga malam, OSDAM adalah Organisasi Santri Darul Mushlihin yang mengatur tentang administrasi segala aktifitas di asrama. Keamanan mendapatiku sedang main Hp. Dalam sekejap, Hp ku langsung diambil paksa olehnya, dan ia melaporkanku ke pimpinan pondok ( Pak Nyai). Hatiku terasa kesal dan marah, “Sangat menyebalkan keamanan itu, aku benci dia!” kataku dalam hati.
Keesokan harinya aku dipanggil untuk maju kedepan semua peserta apel saat apel santri jumat pagi. Pemimpin pondok melempar ponselku dibawah kakiku sampai menjadi kepingan-kepingan tak berguna. Ini sangat memalukan bagi santri baru seperti aku, hal ini membuat namaku jelek dimata semua santri.
Setelah kejadian itu aku sangat membenci keamanan, setiap hari ia selalu mencari-cari kesalahanku dan menghukumku. Rasanya aku seperti orang yang paling buruk disini. Sebab kejadian itu pula teman-temanku mulai menjauhiku, aku semakin kesal dan rasanya aku ingin keluar dari pondok ini.
***
Emosiku semakin bertambah setiap harinya sampai pada puncaknya ketika aku kena ta’zir akibat telat kembali kepondok. Keamanan menghukumku untuk membersihkan kamar mandi. Untuk masalah ini aku tidak terima dan tidak aku laksanakan karena aku sudah lelah dan kesal dengan semuanya. Dengan suara yang keras aku dibentak-bentak untuk membersihkan kloset di kamar mandi bawah, sontak aku menolak dan langsung mengambil air segayung lalu kusiramkan ke mukanya. Aku begitu kesal, mamaku saja tidak pernah sekejam itu kepadaku, lantas mereka siapa berani-beraninya menyuruhku.
Setelah kejadian itu, aku kabur dari pondok, dengan bekal uang sisa bulananku yang tinggal 30 ribu aku nekat pulang!. Syukurlah ditengah perjalanan menuju arah kampung halamanku aku bertemu dengan teman tongkronganku, begitu beruntungnya diriku, kalau semisal nggak ada ia, mau bagaimana aku pulang?. Ia memelukku dengan erat, akupun berlimpahan air mata dipelukan temanku. Aku menceritakan semua yang aku alami di kota pelajar ini.
***
Akhirnya aku sampai dirumah, didepan rumah telah berdiri tegak mamaku yang tersayang. Ku pikir ia akan menyambutku dengan senyum manisnya, tetapi apa yang terjadi?
Mama  : “Sella! Kenapa kamu pulang?” (Mama berkata dengan nada yang begitu kasar).
Aku     : “Mama kok malah kaya gitu toh, anaknya pulang, bukanya seneng malah dimarah-marahin. Nggak tau orang lagi bete aja.”
Mama  : “Kamu tu ingat nggak nak,tujuanmu di pondok itu apa?, pesan mama yang dulu emang udah terwujud?, kamu mau jadi apa nak...”
Aku     : “Tau ah! Orang lagi kesel juga”
Mama  : “Pokoknya besok kamu harus kembali ke pondok lagi, nggak ada alasan apapun. Mama sudah banyak menerima laporan tentang kelakuanmu disana. Mama hanya minta satu darimu nak, bahwa kamu itu harus menjadi orang yang sukses, yang bisa membanggakan mama papa, dan bisa berguna bagi oranglain.”
Aku terdiam sekejap lalu berlari ke kamarku. Aku menangis meratapi semua ini, apa yang telah aku lakuan? Apa yang selama ini aku perbuat? Aku menyesali ini, baru kusadari sebenarnya banyak orang yang peduli kepadaku tetapi malah aku remehkan semua itu. Aku merasa sangat bersalah.
***
Akupun dikembalikan oleh mamaku ke Pondok pesantren, saat inilah aku mulai memperbaiki diri. Aku menjalani kegiatan pondok dengan tertib dan penuh dengan keikhlasan hati. Aku mulai meninggalkan hal-hal yang buruk yang sering aku lakukan. Semakin lama teman-teman dipondokpun menyukai diriku. Aku menjadi lebih baik disini.
Waktu berjalan cepat, tanpa ku sadari aku sudah berada di tempat ini selama satu tahun, kini saatnya aku naik ke kelas wustho atau kelas 2 SMA. Aku dinyatakan sebagai peraih peringkat 3 besar dikelas. Aku semakin serius dan bersungguh-sungguh untuk belajar.
Dan ini adalah massanya pergantian jabatan OSDAM, Aku dipercaya oleh pengurus dan teman-temanku bahwasanya aku dijabatkan di dalam defisi keamanan. Betapa kagetnya diriku, padahal yang dulu sering menentang keamanan, sampai pernah menyiram air ke mukanya. Dan akupun membencinya, tapi sekarang aku malah ditunjuk untuk menjadi defisi keamanan.
Tetapi itu semua masa lalu, sekarang aku telah berubah. Semoga amanah ini dapat aku jalankan dengan baik dan ini merupakan jalanku menuju kesuksesan. Mungkin ini adalah cara terbaik yang diberikan oleh Allah kepadaku agar aku bisa pandai-pandai bersyukur dan selalu mengingat-Nya.


~selesai~

Komentar